info terkini

loading...

Faktor-faktor Penyebab Kematian Cempe Usia Prasapih




Copas dari RST Waroeng Domba
Cempe atau anakan domba kambing merupakan salah satu tahapan perkembangan awal dari keseluruhan fase pertumbuhan domba-kambing. Usia 3 bulan pertama cempe merupakan kategori usia yang kritis karena selain membutuhkan kebutuhan perawatan yang sangat khusus dari segi pemeliharaan dan manajemen, dan juga akan sangat berpengaruh bagi fase pertumbuhan selanjutnya.

Kasus-kasus kematian yang seringkali ditemukan baik dari data balai penelitian maupun laporan peternak di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kematian tertinggi dialami oleh ternak pada fase awal (Cempe usia 0-3 bulan).

Berikut ini merupakan berbagai faktor yang seringkali menyebabkan kematian pada cempe.

1) Faktor Induk Distokia (kesulitan melahirkan).
Kambing/domba induk bunting yang mempunyai tulang pinggul yang kecil, bobot lahir yang terlalu besar (anak hasil persilangan) dan posisi janin yang tidak normal (salah satu kaki depan melengkung ke belakang, kepala mengarah ke belakang, posisi terbalik dan posisi kelahiran kembar yang tidak normal) dapat menyebabkan kesulitan kelahiran. Induk-induk yang tidak mendapat pertolongan saat terjadi kesulitan kelahiran, dapat mengakibatkan kematian anak bahkan dapat menyebabkan kematian induknya. Haughey (1983) melaporkan kematian anak domba pada dua kelompok induk (efisiensi produksi tinggi dan rendah) yang diamatinya selama 3 tahun, berturut-turut sebesar 20 dan 32%. Rendahnya kematian pada kelompok efisiensi tinggi disebabkan oleh kondisi pelvis yang lebih besar.

2) Jumlah Anak Yang Dilahirkan.
Jumlah anak sekelahiran (litter size) yang cukup tinggi (>2 anak) sering menyebabkan kematian anak yang cukup besar. Kematian ini terkait dengan rendahnya bobot badan anak dan kurangnya produksi susu induk untuk mencukupi kebutuhan anak. Semakin banyak jumlah anak sekelahiran (litter size), semakin tinggi tingkat kematian anaknya. Inounu et al. (1986) melaporkan kematian anak pada domba ekor tipis meningkat dengan meningkatnya jumlah anak sekelahiran masing-masing 16,7%; 18,4%; 35,5%; 42,9%; dan 60% untuk jumlah anak sekelahiran 1, 2, 3, 4. dan 5 secara berturut-turut.

3) Sifat Keindukan (Mothering Ability).
Beberapa kambing/domba induk yang tidak menunjukan sifat tidak mau menyusui dan “mengasuh” anaknya. Akibatnya kambing/domba anak yang dilahirkannya kekurangan susu, dan jika dibiarkan dapat menyebabkan kematian.
Sifat keindukan turut mempengaruhi kemampuan bertahan anakan cempe selama masa menyusui.

4) Faktor Genetik.
Terjadinya in breeding antara individu ternak yang masih mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat (in-breeding), kadang dapat menyebabkan rendahnya kemampuan hidup. Keadaan ini berhubungan dengan meningkatnya homosigositas gen-gen resesif dari sifat yang kurang baik karena perkawinan dengan kerabat dekat. Sifat-sifat yang kurang baik diantaranya muncul dengan rendahnya bobot badan, dan kelainan genetik lainnya (cacat tubuh).

5) Pengaruh Iklim.
Kondisi iklim/cuaca yang sangat dingin atau panas akan dapat mempengaruhi kehidupan anak maupun produksi susu induk. Jika tidak dilakukan penanganan terhadap anak pada kondisi iklim/cuaca yang sangat ekstrim dapat menyebabkan kematian. Suhu udara yang sangat rendah dan berkepanjangan dapat menyebabkan 30% anak mati karena menderita hypothermia (Alexander, 1962; Eagles dan Small, 1980)

6) Bobot Lahir Anak.
Anak dengan bobot lahir sangat rendah (< 1 kg), relatif akan lebih tinggi angka kematiannya sebaliknya anak yang memiliki bobot lahir terlalu tinggipun akan besar angka kematiannya karena teradi kesulitan melahirkan .Inounu et al . (1993) melaporkan bahwa 60-84 % dari daya hidup anak kambing/domba dipengaruhi oleh bobot lahir .

7) Tatalaksana Pemberian Pakan.
Kekurangan nutrisi pada induk bunting dan laktasi menyebabkan kurangnya dan rendahnya bobot anak dan produksi susu. Akibatnya, anak kekurangan air susu, lemah, mudah terserang penyakit dan akhirnya mati. Demikan pula kurangnya mineral dan vitamin terhadap ternak tersebut dapat menyebabkan kematian anak. Kebutuhan air, vitamin, dan mineral meningkat pada indukan menyusui sebagai bahan utama asupan air susu untuk anakan.

8. Perawatan.
Perawatan anak periode pra-sapih yang kurang baik akan mempertinggi angka kematian anak. Jika anak terlambat mendapat kolostrum (susu jolong), menyebabkan anak lemah dan mudah terserang penyakit. Kondisi kandang, termasuk kebersihan dan kenyamanannya juga sangat penting untuk diperhatikan. Perawatan setelah kelahiran merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Inounu (1991) melaporkan bahwa 70% dari total kematian anak pra-sapih terjadi pada umur antara 1-6 hari setelah kelahiran .

9) Infeksi Penyakit.
Penyakit-penyakit yang sering menyerang anak kambing/domba periode pra sapih antara lain adalah mencret dan cacingan. Mencret dapat disebabkan oleh gangguan makanan, bibit penyakit, atau kombinasi antara keduanya. Ternak yang mencret dapat menjadi lemah dan kemudian mati bila tidak dilakukan pertolongan.
Cacingan dapat disebabkan oleh berbagai jenis cacing yang menginfeksi pada anak kambing/domba. Ternak yang terkena cacingan memperlihatkan tanda-tanda seperti bulu berdiri, nafsu makan menurun, dan mencret. Anak kambing/domba yang terkena cacingan dapat menjadi lemah dan jika dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Angka prevalensi penyakit cacing di Jawa Barat berkisar 87,5 – 100% (Soepeno et al., 1993). Kematian yang disebabkan oleh penyakit cacing khususnya pada anak kambing dan domba mencapai 28% (Balai Penelitian Veteriner, 1992).

Pemberian obat cacing untuk induk sebelum kawin dan induk menjelang kelahiran dapat mengendalikan resiko penyakit cacingan yang dapat ditularkan dari induk ke anak. Prevalensi yang tinggi membuat program pemberian obat cacing yang teratur menjadi wajib untuk memperkecil angka kematian akibat infeksi penyakit.

Profil Penulis
Artikel ini merupakan hasil kontribusi dari drh. Rosis Arif. Beliau adalah kepala divisi sekaligus Business Development Manager dari Rumah Sehat Ternak Waroeng Domba (Saung Domba International). Beliau sempat mengenyam pendidikan ilmu kedokteran hewan dan profesi kedokteran hewan di FKH UGM. Setelah disumpah sebagai dokter hewan pada Desember 2013, beliau aktif sebagai dokter hewan praktisi hewan kesayangan dan manajer praktisi di PDHB Naroopet, Kalasan, Yogyakarta sampai awal tahun 2017. Selama berpraktik di Yogyakarta, beliau aktif melakukan update ilmu melalui seminar-seminar dan pelatihan yang berkaitan dengan penanganan medis, farmakologi obat hewan, tindakan emergensi, pencegahan penyakit menular asal hewan, product knowledge, dan diagnosa laboratorik maupun radiologis. Beliau juga bergabung dalam komunitas edukasi Animal911/Jogja Catlovers, dan tergabung dalam keanggotaan PDHI reg. Yogyakarta. Dokter hewan yang selama akhir pekan ikut berpraktik di Bimbi Petshop and Clinic Depok ini juga memiliki minat yang tinggi di bidang pemanfaatan hewan ternak dalam konsep Integrated Farming dan penjagaan kesehatan melalui konsep Preventive Veterinary Medicine. Masa Kuliah Kerja Nyata yang sempat diikuti di pertengahan masa koasistensi dokter hewan menginspirasi beliau untuk turut berkontribusi kembali untuk dunia peternakan dan kesehatan hewan ternak melalui bergabung dalam Saung Domba International pada awal Maret 2017.


0 komentar:

INFO

loading...