Cara Mengobati Sapi yang Belatungan
Dalam menjalankan usaha peternakan sapi, peternak selalu menghadapi berbagai masalah termasuk serangan penyakit. Salah satu penyakit yang membutuhkan penanganan serius adalah myasis. Kasus myasis pertama kali dilaporkan terjadi tahun 1926 pada sapi-sapi di Sulawesi Utara. Selain Sulawesi, saat ini daerah endemis myasis sudah meluas ke Sumba, Lombok, Sumbawa, Papua, dan beberapa daerah di Jawa.
Kejadian Myasis di Lapangan
Kata myasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “myia” yang berarti lalat. Adapun defisini myasis adalah peradangan pada jaringan hewan atau manusia yang timbul akibat infestasi larva lalat. Masyarakat Indonesia lebih mengenal penyakit ini dengan nama belatungan.
Wardhana (2005) melaporkan bahwa kasus myasis banyak terjadi pada sapi dewasa, pedet, kambing, dan domba. Myasis pada sapi bisa ditemukan di berbagai lokasi seperti di mata, tanduk, leher, mulut/moncong sapi, telinga, vulva, ekor, pusar hewan yang baru lahir (umbilikus), kaki, dan teracak (telapak kaki).
Adapun proses terjadinya kasus ini didahului oleh adanya luka yang dibiarkan terbuka. Luka dapat diakibatkan oleh gesekan tubuh sapi dengan kandang, tersayat benda tajam, pasca partus (beranak), terputusnya tali pusar/umbilikus atau terkena gigitan caplak. Bau darah segar yang ada pada luka kemudian akan menarik perhatian lalat Chrysomya bezziana betina untuk bertelur pada luka tersebut. Telur ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga tidak mudah jatuh ke tanah oleh gerakan sapi. Dalam waktu 12-24 jam, telur lalat akan menetas dan tumbuh menjadi larva, kemudian bergerak masuk ke jaringan.
Aktivitas larva di dalam jaringan tubuh sapi mengakibatkan luka semakin membesar dan kerusakan jaringan kulit semakin parah. Lama-kelamaan kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan mengundang lalat lain (lalat sekunder dan tertier) untuk hinggap, serta memicu timbulnya infeksi sekunder oleh bakteri atau parasit.
Sekalipun myiasis memiliki tingkat kematian rendah, namun tingkat kesakitannya cukup tinggi dan frekuensi kejadian (pervalensi)-nya terbilang sangat sering. Contohnya pernah dilaporkan di Sulawesi, di mana myasis menyerang hampir 20% dari total populasi sapi yang dipelihara peternak dan tingkat berulangnya kasus tersebut mencapai 40%.
Infestasi larva myasis tidak menimbulkan gejala klinis yang spesifik dan sangat bervariasi tergantung pada lokasi luka. Sapi yang terserangmyiasis akan merasa tidak nyaman, nafsu makannya turun, lemah, dan demam sehingga mengalami penurunan bobot badan dan produksi susu, kerusakan jaringan, infertilitas, serta anemia. Hal ini secara tidak langsung juga berdampak pada turunnya harga jual sapi di pasaran. Jikamyiasis menyerang organ vital (misalnya sampai masuk ke bagian otak) dan dibiarkan begitu saja dalam jangka waktu lama, maka myiasis pun akan menyebabkan kematian.
Penularan myasis terutama terjadi melalui lalat betina Chrysomya bezziana yang menginfestasi jaringan hidup. Pada lingkungan tropis dengan populasi ternak yang padat, lalat betina mampu terbang sekitar 10-20 km. Adapun pada lingkungan yang tandus dengan kepadatan populasi ternak yang rendah, lalat dapat terbang hingga 300 km. Sedangkan pada kondisi pegunungan, lalat akan terbang mengikuti alur perbukitan yang memiliki iklim lebih hangat dengan kelembaban yang tinggi. Di samping itu, lalat ini juga dapat terdistribusi melalui angin dan transportasi ternak.
Pengendalian Myasis
Kasus myasis sampai saat ini masih banyak menyerang sapi-sapi di Indonesia. Lalat penyebab myasis dapat berkembang baik dalam kondisi tropis dan kelembaban yang tinggi. Daerah yang memiliki banyak pepohonan, semak-semak, dan sungai merupakan daerah ideal untuk kelangsungan hidup lalat penyebab myasis. Beberapa faktor predisposisi serangan myasis antara lain musim hujan atau pancaroba, rendahnya tingkat higienitas dan sanitasi lingkungan, masuknya ternak sapi baru ke daerah endemis myasis, serta kurang pedulinya peternak terhadap perawatan luka.
Oleh karena itu, untuk mengendalikan kejadian myasis di lapangan, langkah-langkah yang harus diterapkan peternak di antaranya:
- Mengendalikan populasi lalat di kandangTingginya kasus myasis pada ternak sapi di Indonesia tidak dapat terlepas dari sistem budidaya peternakan rakyat yang kurang memperhatikan kebersihan kandang dan lingkungan. Contoh yang umumnya dijumpai adalah penumpukan kotoran sapi di samping kandang dan tidak dikelola dengan baik. Akibatnya tumpukan kotoran itu menjadi media subur bagi perkembangan lalat. Kondisi ini diperparah dengan model kandang yang sangat mendukung terjadinya luka pada permukaan tubuh sapi akibat kena paku, ataupun fungsi sapi sebagai ternak kerja yang juga sering menderita trauma pada permukaan tubuh.Untuk mengendalikan keberadaan lalat di kandang hendaknya peternak membersihkan kotoran sapi setiap hari dan mengumpulkannya pada tempat penampungan yang terpisah dan tertutup agar tidak kehujanan. Kotoran yang telah terkumpul bisa didiamkan (dikeringkan,red) selama maksimal 1 minggu untuk dikemudian dikarungkan.Jika lalat dewasa sudah banyak berkeliaran di kandang, peternak bisa membasminya dengan insektisida seperti Flytox dan Delatrin.Flytox merupakan sediaan insektisida yang efektif mengendalikan lalat pada area peternakan tanpa menimbulkan resistensi, bekerja cepat, dan daya kerjanya tahan lama. Demikian dengan Delatrin yang memiliki efek knock down (membunuh lalat seketika). Flytox diaplikasikan dengan cara tabur, sedangkan Delatrin diaplikasikan melalui semprot.
- Pengawasan lalu lintas ternakPerlu kita ketahui bersama bahwa ternak sapi yang dikirim dari daerah endemis dapat menyebarkan penyakit myasis ke daerah yang belum pernah terserang. Hal ini terjadi karena larva Chrysomya bezziana pada sapi yang menderita myasis dapat terjatuh dan berkembang menjadi lalat dewasa. Jika di daerah itu terdapat sapi yang terluka, maka lalat akan hinggap pada luka dan menimbulkan kasus baru. Oleh karena itu, dalam hal pengawasan lalu lintas ternak ini, peternak dan dinas peternakan terkait sebaiknya bekerja sama mengendalikan lalu lintas ternak sapi, terutama sapi-sapi yang berasal dari daerah endemis.
- Pengobatan luka secara diniPada prinsipnya, myasis tidak akan muncul jika peternak melakukan penanganan secara dini pada luka yang dialami sapi. Namun apabila luka tidak diobati dalam waktu 1-2 minggu maka selain terjadi myasis, juga akan terjadi infeksi sekunder bakteri sehingga bisa muncul kematian. Untuk mengatasi luka, peternak dapat menyemprotkan Dicodine. Dicodine merupakan obat semprot (spray) yang secara khusus diformulasikan untuk mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya myiasis. Sebelum diobati, bersihkan luka terlebih dahulumenggunakan air hangat atau larutan infus (NaCl 0,9%).
Penanganan Myasis
Selanjutnya untuk menangani sapi-sapi yang sudah terlanjur terserang myasis, peternak bisa melakukan beberapa tindakan berikut ini:
- Keluarkan larva/belatung yang ada di permukaan luka menggunakan pinset.
- Semprotkan luka myasis menggunakan Dicodine.
- Jika kondisi luka myasis sudah disertai nanah, artinya sudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, parasit atau mikroorganisme lain. Maka dari itu, setelah luka dibersihkan dan disemprot Dicodine, peternak perlu memberikan antibiotik (Medoxy-LA), obat anti inflamasi (anti radang) atau antiparasit yang bersifat sistemik (Wormectin Injeksi) pada sapi yang menderita myasis agar kondisinya tidak semakin parah.
Info Medion Edisi Agustus 2016
Artikel bersumber dari Info Medion Online (http://info.medion.co.id).
0 komentar: