Kecernaan Invitro
I.
PENDAHULUAN
|
A.
Latar
Belakang
Pakan menjadi masalah yang sering
dihadapi peternak rakyat dalam meningkatkan performa ternak ruminansia terlebih
pada saat musim kemarau. Ketersediaan pakan konvensional pada musim kemarau
relatif rendah. Selain itu juga terjadi penurunan kualitas pakan seperti
rendahnya daya cerna serta kandungan nutrien. Sedangkan kebutuhan pakan hijauan
ternak ruminansia adalah 10% dari bobot badannya (Sugeng, 2004).
Limbah pertanian dan agroindustri
pertanian memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak
ruminansia (Mariyono dan Romjali, 2007). Jenis limbah pertanian yang sering
digunakan sebagai pakan ternak adalah jerami padi (Djajanegara, 1999). Jerami
padi sering digunakan peternak karena tersedia dalam jumah besar, harganya
murah serta berkesinambungan. Menurut Lahay dan Rinduwati (2007) sumber pakan
sebaiknya memenuhi kriteria lebih murah, berkesinambungan, bergizi baik dan
tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.
Jerami padi merupakan sisa dari
pemanenan padi yang terdiri dari batang dan daun. Jerami padi memiliki
kandungan protein kasar lebih rendah daripada rumput sedangkan kandungan serat
kasarnya lebih tinggi. Serat kasar jerami padi sebagian besar berikatan dengan
lignin dan silika yang mencapai 13 persen dari bahan kering. Tingginya lignin
dan silika ini berdampak pada rendahnya kecernaan. Menurut Murni et al. (2008),
kendala utama pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak
adalah nilai nutrisi dan kecernaan yang rendah. Serat kasar secara fisik dan
kimia menjadi salah satu faktor penyebab ternak tidak mampu mencerna bahan
pakan.
Peternak pada umumnya menggunakan
konsentrat sebagai pakan sumber energi bagi ternak. Konsentrat merupakan
campuran bahan pakan ternak yang mutu gizinya baik dan mudah dicerna oleh
ternak, dengan kandungan protein yang tinggi dan kandungan serat kasarnya rendah.
Konsentrat ditambahkan ke dalam pakan untuk meningkatkan gizi (Hardjosubroto
dan Astuti, 1993).
Harga konsentrat untuk pakan ternak ruminansia
di nilai oleh masyarakat masih tergolong mahal sehingga kurang efisien untuk
peternak rakyat. Dedak padi dan onggok merupakan jenis pakan sumber energi yang
bisa digunakan oleh peternak sebagai pengganti konsentrat karena harganya yang
murah dan mudah didapat. Onggok mengandung protein kasar 2,95%, lemak 0,35%,
serat kasar 7,28% dan BETN 71,64%. Substitusi onggok sebagai bahan pakan masih
dihadapkan pada masalah rendahnya kandungan protein dan rendahnya kecernaan
(Anshari, 2010). Dedak padi merupakan hasil ikutan
dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang
tidak tebal, tetapi tercampur dengan penutup beras. Hal ini mempengaruhi tinggi
atau rendahnya kandungan serat kasar dedak padi (Parakkasi, 1995). Dedak
padi mengandung 10,6% air, 4,1% protein, 32,4% bahan ekstrak tanpa N, 35,3%
serat kasar, 1,6% lemak dan 16% abu (Supriyadi, 2013).
Onggok dan dedak padi cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai
pakan sumber
energi dalam ransum ternak ruminansia. Namun rendahnya
nutrien yang terkandung pada onggok dan dedak padi menjadikan aktivitas mikroba
dalam rumen kurang optimal. Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja mikroba
rumen adalah dengan memberikan pakan Penunjang Kinerja Mikroba
rumen (PKM) dalam ransum untuk meningkatkan kecernaan dan kandungan nutrisi
bahan pakan. Molases digunakan sebagai bahan pakan sumber energi (C), urea
sebagai sumber N dan minyak untuk melepaslambatkan pakan. Pakan sumber energi
dapat mensuplai unsur karbon yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba. Imbangan C/N
yang cukup tetap dapat menumbuhkan bakteri dalam rumen. Imbangan Carbon (C) dan
Nitrogen (N) yang terkandung dalam bahan organik sangat menentukan kehidupan
dan aktivitas mikroorganisme.
Setiap bahan pakan memiliki nilai
kecernaan yang berbeda-beda baik pakan sumber serat maupun pakan sumber energi.
Nilai kecernaan pakan perlu diketahui karena nenentukan seberapa banyak nutrien
yang dapat dikonsumsi dan dicerna oleh ternak ruminansia sehingga berpengaruh
terhadap kualitas pakan. Sedangkan fermentabilitas diperlukan untuk mengetahui
mikroba dalam rumen tetap dapat hidup. Untuk mengetahui nilai kecernaan pakan
dapat diukur dengan teknik in vitro. Teknik in vitro merupakan teknik
pengukuran kecernaan yang dapat dilakukan di laboratorium dengan
meniru kondisi rumen sebenarnya (Mulyawati, 2009).
B.
Rumusan
Masalah
Jerami padi diketahui memiliki
kandungan serat kasar tinggi yang tidak dapat dicerna karena tingkat
lignifikasi selulosa yang tinggi sehingga kecernaannya juga menurun
(Mahr-un-Nisa et al., 2001). Menurut
Orden et al. (2000) selain kandungan lignin yang tinggi, jerami juga memiliki
kandungan nitrogen yang rendah. Nitrogen yang berasal dari protein maupun
nitrogen non protein (NPN) dibutuhkan untuk sintesis protein mikroba rumen.
Mikroba rumen akan menghidrolisis protein dan nitrogen non protein (NPN) menjadi
peptida dan asam amino yang selanjutnya didegradasi menjadi amonia (NH3).
Amonia ini dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber nitrogen utama untuk
sintesis protein mikroba jika tersedia sumber energi yang mudah terfermentasi.
Pemberian urea sebagai bahan pakan sumber nitrogen (N) dan molases sebagai
bahan pakan sumber energi (C) secara bersamaan bertujuan untuk mengoptimalkan
sintesis protein mikroba rumen. Urea merupakan sumber pakan nitrogen yang mudah
terdegradasi sehingga minyak ditambahkan untuk melepaslambatkan urea sehingga
terjadi sinkronisasi antara N dan C.
Shabi et al. (1998) menyatakan
bahwa aktivitas mikroba akan optimal dalam memanfaatkan nitrogen pakan jika
tersedia energi yang cukup dan sesuai fermentabilitasnya dengan nitrogen tersebut.
Pemberian molases saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi mikroba
rumen. Penyediaan energi dari molases hanya bersifat sementara karena molases
merupakan pakan sumber energi yang mudah terfermentasi. Oleh karena itu
dibutuhkan pakan sumber energi lain yang fermentabilitasnya lebih lambat
daripada molases untuk menyediakan energi yang dibutuhkan mikroba rumen.
Umumnya konsentrat digunakan sebagai pakan sumber energi karena nutrisinya
bagus untuk ternak ruminansia. Penggunaan konsentrat sebagai pakan sumber
energi di nilai masih kurang efisien karena harga konsentrat cenderung mahal.
Dedak padi dan onggok diharapkan dapat menggantikan konsentrat sebagai pakan
sumber energi karena harganya lebih murah serta mudah didapat.
Penelitian dilaksanakan untuk
mengetahui bahan pakan sumber energi yang dapat meningkatkan nilai kecernaan
dan fermentabilitas ransum berbahan dasar jerami padi. Nilai kecernaan
menunjukkan seberapa banyak nutrien yang dapat dikonsumsi dan dicerna oleh
ternak sedangkan fermentabilitas menentukan apakah mikroba dalam rumen tetap
dapat hidup. Nilai kecernaan dan fermentabilitas dapat diukur dengan teknik in
vitro.
C.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan bahan pakan sumber energi dalam ransum berbahan
dasar jerami padi terhadap nilai kecernaan dan fermentabilitas ransum.
|
Hipotesis dari penelitian ini
adalah penggunaan bahan pakan sumber energi dalam ransum berbahan dasar jerami
padi berpengaruh terhadap kecernaan dan fermentabilitas ransum.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Sapi
Menurut Romans et al., (1994)
bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class :
Mamalia
Sub class :
Theria
Infra class : Eutheria
Ordo :
Artiodactyla
Sub ordo
: Ruminantia
Infra ordo :
Pecora
Famili
: Bovidae
Genus :
Bos (cattle)
Group :
Taurinae
Spesies
: Bos taurus (sapi Eropa)
Bos indicus (sapi India/sapi zebu)
Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
Sistem pencernaan sapi adalah
rangkaian proses yang terjadi terhadap pakan yang dikonsumsi alat pencernaan
sampai memungkinkan terjadi penyerapan di usus. Ternak ruminansia mampu
memanfaatkan pakan berkadar serat kasar tinggi sebagai sumber nutrisi untuk produksinya
(Parakkasi, 1995).
Hewan ruminansia seperti sapi
memiliki perut besar, mempunyai ruang dan kebanyakan kegiatan pencernaan
dilakukan oleh mikroba yang tinggal didalam perut besar. Bagian terbesar dari
lambung ruminansia adalah rumen yang berfungsi sebagai tempat fermentasi. Rumen
mengandung populasi mikrobial terdiri atas bakteri, protozoa dan jamur yang
mampu memfermentasikan makanan yang ditelan. Keuntungan lain fermentasi rumen
ialah kemampuan mikroba rumen mensintesis asam amino dan pencernaan protein
mikrobial. Lebih kurang 60-70% pakan ruminansia terdiri atas serat kasar,
karbohidrat, lignin, selulosa dan hemiselulosa. (Tillman et al.,1991).
Menurut Rangkuti et al., (1985)
ruminansia mempunyai empat lambung yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum.
Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada waktu lahir abomasum
merupakan bagian utama, tetapi begitu susu diganti dengan rumput, rumen tumbuh
sampai 80% kapasitas lambung. Retikulum dan omasum berkembang pada waktu yang
sama.
Pakan sapi pada dasarnya merupakan
sumber pembangun tubuh. Untuk memproduksi protein tubuh, sumbernya adalah
protein pakan sedangkan energi yang diperlukan bersumber dari pakan yang
konsumsi, sehingga pakan merupakan kebutuhan utama dalam pertumbuhan ternak.
Pertumbuhan ternak sangat tergantung dari imbangan protein energi yang
bersumber dari pakan yang dikonsumsi (Yassin dan Dilaga, 1993). Pakan yang
diberikan bukan sekedar dimaksudkan untuk mengatasi rasa lapar atau sebagai
pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermanfaat untuk kebutuhan
hidup, membentuk sel-sel baru, mengganti sel-sel yang rusak dan untuk produksi
(Widayati dan Widalestari, 1994).
B.
Sistem
Percernaan dan Metabolisme Nutrien
Pencernaan merupakan pengolahan
pakan sejak masuk mulut hingga pakan dapat di absorbsi oleh usus (Frandson,
1992). Menurut Maynard dan Loosi (1969) pencernaan adalah rangkaian proses yang
terjadi dalam alat pencernaan sampai memungkinkan terjadinya penyerapan.
Saluran pencernaan hewan berfungsi untuk mencerna dan mengabsorbsi nutrien
serta mensekresikan sisanya sebagai kotoran.
Lambung ternak ruminansia terdiri
dari empat bagian, yaitu retikulum (perut
jala), rumen (perut beludru), omasum (perut buku) dan abomasum (perut sejati). Bagian lambung
yang mampu memanfaatkan selulosa dari pakan adalah rumen, karena di dalamnya
terdapat mikrobia yang mampu memproduksi enzim selulotik yang dapat
menghidrolisis selulosa menjadi glukosa (Rahmadi et al., 2003). Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8% dan
abomasum 7-8% (Srigandono, 1996). Bagian lain dari lambung ternak ruminansia
juga memiliki fungsi yang berbeda-beda, yang membantu proses pencernaan.
Retikulum merupakan lambung bagian depan. Bagian dalam retikulum mempunyai
tonjolan-tonjolan (papilla) yang
menyerupai rumah tawon, berfungsi untuk absorbsi. Bagian ini dapat menolak
pakan kasar yang harus dikunyah lagi di dalam mulut atau merusaknya ke dalam
rumen untuk dicerna oleh mikrobia. Omasum terletak di sebelah kanan garis
median atau di sebelah rusuk ke 7 – 11, berbentuk elips dan dihubungkan dengan
retikulum oleh saluran sempit dan pendek yang disebut orificium reticulo omasal. Fungsi dari omasum adalah untuk mengatur
arus ingesta ke abomasum melalui orificium
reticulo omasal, menyaring partikel yang besar serta absorbsi partikel
pakan dan air. Abomasum merupakan bagian lambung ruminansia yang sama seperti
perut nonruminansia. Abomasum terletak di dasar rongga perut dan terdiri dari
tiga bagian, yaitu Cardia (berhubungan
dengan omasum), Fundica (merupakan
bagian terbesar) dan Pylorica
(merupakan bagian terkecil yang berhubungan dengan duodenum) (Soetanto, 2007).
Proses pencernaan pada ternak
ruminansia dibagi menjadi tiga yaitu pencernaan mekanik, pencernaan hidrolitik
dan pencernaan fermentatif (Suwandi, 1997). Di dalam mulut terjadi pencernaan
mekanik dimana pakan bercampur dengan salivadan
dipecah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil (Ismail, 2011). Dari mulut
pakan akan menuju retikulum untuk dipisahkan antara pakan yang masih kasar
dengan pakan yang halus. Pakan yang masih kasar dikembalikan ke rongga mulut
untuk dikunyah kembali, sedangkan pakan halus akan diteruskan ke dalam rumen
dan mengalami pencernaan fermentatif. Proses fermentasi terjadi dengan bantuan
mikroorganisme terutama bakteri anaerob dan protozoa (Suwandi, 1997).
Fermentasi pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2
dan CH4) yang akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1995). Setelah mengalami pencernaan fermentetif di
dalam rumen, selanjutnya pakan mengalami pencernaan hidrolisis oleh enzim yang
disekresikan oleh omasum dan abomasum (Rahmadi et al., 2003).
1.
Metabolisme Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi
utama dalam kehidupan mikroorganisme rumen dan ruminan itu sendiri (Parakkasi,
1998). Karbohidrat mengandung zat carbon
(C), hydrogen (H) dan zat oxygen (O)
dalam perbandingan yang berbeda-beda. Karbohidrat merupakan zat organik utama
yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan dan biasanya mewakili 50% sampai 70% dari jumlah bahan kering dalam bahan makanan
ternak. Karbohidrat digolongkan menjadi monosaccharida
(gula-gula sederhana), disaccharida
(dua molekul dari gula-gula sederhana), trisaccharida
(tiga molekul dari gula-gula sederhana),
dan polysaccharida (banyak molekul
dari gula-gula sederhana) (Anggorodi, 1979).
Pemecahan karbohidrat di dalam
rumen terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah pemecahan karbohidrat
kompleks menjadi gula sederhana secara hidrolisisdan menghasilkan produk utama
berupa glukosa. Tahap kedua glukosa tersebut difermentasi oleh mikrobia rumen
menjadi asam-asam lemak terbang atau asam lemak berantai pendek (Volatile Fatty Acid atau VFA). VFA terdiri
dari asam asetat, asam propionat dan asam butirat (Nugraha et al., 2001). Degradasi karbohidrat dalam rumen juga menghasilkan
karbondioksida (CO2), H2O dan metan (CH4) (Widodo et al., 2012).
VFA merupakan produk akhir
fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen.
Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah tidaknya pakan tersebut difermentasi
oleh mikroba rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat dijadikan tolak
ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Konsentrasi
VFA pada umumnya menurun dengan meningkatnya keasaman rumen. Upaya untuk
menjaga apar pH rumen tidak menurun atau meningkat secara drastis maka perlu
adanya hijauan dengan proporsi yang memadai di dalam ransum (± 40% dari total
ransum atau dengan kadar serat kasar sekitar 20%) dimana 70% dari serat kasar
ini harus dalam bentuk polisakarida berstruktur untuk dapat merangsang produksi
saliva selama proses ruminasi (Soetanto, 2007). Kisaran produk VFA cairan rumen
normal yang mendukung pertumbuhan mikroba adalah 80 sampai 160 mM (Sutardi,
1980).
2.
Metabolisme Protein
Protein adalah zat organik yang
mengandung carbon, hydrogen, nitrogen, oxygen, sulfur dan phosphor. Tumbuhan mampu membentuk asam amino (dan protein) dengan
melalui proses photosynthesis sedangkan hewan termasuk ternak ruminansia tidak
mampu melakukannya. Oleh karena itu ternak perlu mendapat zat-zat tersebut
langsung dari pakan yang diperoleh atau dari bakteri yang mengandung zat-zat
tersebut. Protein sendiri memiliki fungsi untuk memperbaiki jaringan,
pertumbuhan jaringan baru, metabolisme energi, metabolisme zat-zat vital dalam fungsi tubuh, enzim yang esensial bagi
fungsi tubuh yang normal dan hormon-hormon tertentu (Anggorodi, 1979).
Pada ternak ruminansia, penggunaan
protein makanan lebih kompleks. Terdapat pencernaan mikrobial dan sintesa yang
terjadi dalam retikulo-rumen sehingga protein yang masuk saluran pencernaan
adalah campuran protein pakan dan protein jasad renik (mikrobial) (Tillman et al., 1991). Protein dalam pakan yang
masuk ke dalam rumen akan didegradasi dan difermentasi menjadi amonia, asam
lemak terbang dan gas CH4. Fermentasi protein oleh bakteri dilakukan dengan
menghidrolisis pakan menjadi asam amino dan polipeptida menjadi peptida
berantai pendek yang diikuti dengan proses deaminasi untuk membebaskan amonia
(Ismail, 2011). Menurut Kamal, (1994) apabila amonia dibebaskan dengan cepat
maka amonia diabsorbsi melalui dinding rumen dan sangat sedikit yang dipakai
oleh bakteri. Kemudian amonia masuk peredaran darah dan dibawa ke hati untuk
diubah menjadi urea dan dikeluarkan melalui urin.
Lebih kurang 92% mikrobia
menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen guna sintesis protein tubuhnya.
Antara 60-90% konsumsi nitrogen per hari dikonversikan menjadi amonia dan
antara 50-70% nitrogen bakteri berasal dari amonia. Kadar amonia optimum untuk
sintesis mikrobia rumen berkisar 3,57-7,14 mM atau 20-250 mg/L (Rahmadi et al., 2003). Kandungan protein kasar
yang kurang dari 7% akan membuat aktivitas mikrobia rumen tertekan karena
kekurangan amonia sehingga menurunkan pencernaan karbohidrat dan mempengaruhi
kandungan asam lemak terbang yang dihasilkan. Sebaliknya, bila kadar amonia di
dalam rumen terlalu tinggi maka absorbsi amonia di dalam hati berlebihan dan
perombakan urea akan kalah cepat. Akibatnya, kadar amonia dalam peredaran darah
perifer menjadi naik dan terjadi keracunan yang dapat mengakibatkan kematian
(Kamal, 1994).
C.
Kecernaan
dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kecernaan suatu pakan merupakan
bagian dari pakan yang tidak diekskresikan melalui feses dan diasumsikan bahwa
bagian tersebut diserap oleh hewan (McDonald et al, 2010). Anggorodi (1994) menyatakan bahwa pengukuran daya
cerna merupakan suatu usaha untuk menentukan jumlah zat makanan dari bahan
pakan yang diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna dapat ditentukan dengan
cara mengukur bahan makanan yang dimakan dan kotoran yang dikeluarkan.
Nilai kecernaan adalah tanda awal
ketersediaan nutrien dalam bahan pakan ternak tertentu. Kecernaan yang tinggi
menunjukkan besarnya nutrien yang disalurkan pada ternak, sedangkan kecernaan
yang rendah menunjukkan bahan pakan tersebut belum bisa memberikan nutrien bagi
ternak baik untuk hidup pokok ataupun untuk produksi. Kecernaan dapat
dinyatakan dalam bentuk bahan kering dan organik sehingga dalam prosentase
dapat disebut koefisien cerna (Jovitry, 2011). Nilai koefisien cerna bahan
kering maupun organik menunjukkan derajat cerna pakan pada alat-alat pencernaan
serta seberapa besar manfaat pakan bagi ternak (McDonald et al., 2010).
Jumlah nutrien dalam pakan dapat
dicari dengan cara analisis kimia, sedangkan jumlah nutrien yang dicerna dapat
dicari apabila pakan telah mengalami proses pencernaan. Nutrien yang dicerna
diketahui dengan analisis biologis yang diikuti dengan analisis kimia untuk
nutrien yang terdapat dalam feses. Jumlah nutrien tercerna dapat diketahui
apabila jumlah nutrien dalam pakan dan nutrien dalam feses telah diketahui
(Kamal, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai kecernaan antara lain komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi
antara bahan pakan satu dengan bahan pakan yang lain, perlakuan pakan,
suplementasi enzim dalam pakan dan taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Menurut Tillman et al. (1998), salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kecernaan suatu pakan adalah kandungan serat kasar. Tinggi
rendahnya kandungan serat kasar akan mempengaruhi kemampuan mikroba rumen dalam
mencerna serat kasar sehingga mempengaruhi nilai KcBK (Van Soest, 1994).
Nilai kecernaan dapat menurun
karena kandungan serat kasar pakan yang meningkat, begitu juga sebaliknya.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat
proporsi bahan pakan ransum, komposisi kimia, tingkat protein, persentase lemak
dan mineral (Anggorodi, 1994). Kecernaan bahan organik menggambarkan
ketersediaan nutrien dalam pakan dan menunjukkan nutrien yang dapat
dimanfaatkan oleh ternak. Kecernaan bahan kering dapat mempengaruhi Kecernaan
bahan organik (Tillman et al., 1991).
D.
Teknik
In Vitro
Teknik In Vitro atau teknik rumen buatan adalah suatu percobaan fermentasi
bahan pakan secara anaerob dalam tabung fermentor dan menggunakan larutan
penyangga yang merupakan saliva buatan (Widodo, 2012). Prinsip dari teknik In Vitro dilakukan dalam dua tahap, yang
pertama adalah pencernaan struktural atau secara fermentatif oleh mikrobia
dengan menginkubasi bahan pakan selama 48 jam dalam cairan rumen yang
mengandung buffer dalam kondisi anaerob. Tahap kedua yaitu pencernaan enzimatis
oleh larutan asam dan pepsin selama 48 jam seperti kondisi abomasum. Ketepatan
hasil kecernaan In Vitro dipengaruhi
oleh pH cairan rumen, jumlah cairan rumen, jumlah dan ukuran partikel sampel
sarta suhu inkubasi dan lama fermentasi (Rahmadi et al., 2003).
Metode In Vitro dilakukan dalam dua tahap, diawali dengan pencernaan
fermentatif, yaitu dengan memasukkan 0,25 gram sampel ke dalam tabung
fermentor. Kemudian ditambah 25mL larutan McDougall (buffer) dan cairan rumen yang sudah dicampur sebelumnya dengan suhu
39ºC, serta dialiri gas CO2 selama 30 detik. Setelah itu sampel diinkubasi
selama 48 jam dalam keadaan anaerob. Tahap kedua, bakteri dimatikan dengan
penambahan asam hidroklorit (HCl) pada pH 2, lalu diberi larutan pepsin HCl dan
diinkubasi selama 48 jam. Tahap kedua ini terjadi dalam organ pasca rumen
(abomasum). Residu bahan yang tidak larut disaring, kemudian dikeringkan dan
dipanaskan hingga substrat tersebut dapat digunakan untuk mengukur kecernaan
bahan organik (Tilley & Terry, 1963).
Suhu fermentasi diusahakan sama
dengan suhu fermentasi dalam rumen yaitu berkisar 40-420C. Suhu tersebut harus
stabil selama proses fermentasi berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba
dapat berkembang sesuai dengan kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap
berlangsung normal bila pH rumen berkisar antara 6,7 - 7,0. Perubahan pH yang
besar dapat dicegah dengan penambahan larutan buffer bikarbonat dan fosfat
(Johnson, 1996).
III.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
A.
Tempat
dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan Oktober
2014
di Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas
Pertanian,Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Laboratorium Teknologi Makanan Ternak, Fakulas
Peternakan, Universitas
Gadjah
Mada.
B.
Materi
Penelitian
1.
Bahan Penelitian
a.
Jerami padi
Bahan
utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jerami padi berkadar air 60%.
Jerami padi diperoleh dari desa Jagoan, Kecamatan Sambi, Boyolali. Kandungan
nutrien jerami padi dapat dilihat pada Tabel 2.
b.
Konsentrat
Konsentrat sebagai bahan pakan sumber energi diperoleh dari desa Jagoan, Kecamatan Sambi,
Boyolali. Kandungan nutrien dedak padi dapat dilihat pada Tabel 2.
c.
Dedak padi
Dedak
padi sebagai pakan sumber energi diperoleh dari desa Jagoan, Kecamatan Sambi,
Boyolali. Kandungan nutrien dedak padi dapat dilihat pada Tabel 2.
d.
Onggok
Onggok
sebagai pakan sumber energidiperoleh dari Banjarnegara. Kandungan nutrien
onggok dapat dilihat pada Tabel 2.
e.
PKM (Pemacu Kinerja Mikroba)
PKM
yang digunakan diperoleh dari desa Jagoan, Kecamatan Sambi, Boyolali. Komposisi
PKM dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Komposisi PKM
Komposisi PKM
|
(% BK)
|
Urea
|
4,29
|
Molases
|
26,79
|
Minyak
|
12,99
|
Bungkil sawit
|
47,36
|
Vitamin & Mineral
|
8,57
|
Kandungan
nutrien bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan
Penyususn Ransum (%BK)
Bahan
Ransum
|
BK
(%)
|
SK
|
PK
|
LK
|
Abu
|
BETN5)
|
TDN6)
|
(%)
|
|||||||
Jerami padi1)
|
87,5
|
32,5
|
1,44
|
4,21
|
17,4
|
44,45
|
47,41
|
Konsentrat3)
|
88,47
|
18, 04
|
15,55
|
5,44
|
7,58
|
41,85
|
67,97
|
Dedak padi1)
|
91
|
13,9
|
8,6
|
13
|
13,6
|
50,9
|
82,95
|
Onggok2)
|
89
|
21,5
|
18,42
|
5,54
|
10,12
|
44,42
|
79,0
|
PKM4)
|
78,05
|
12,1
|
13,35
|
5,6
|
9,32
|
59,63
|
72,53
|
Sumber :
1) Hasil analisis
laboratorium PAU IPB (2011)
2)Hasil analisis Laboratorium Ilmu
Nutrisi Dan Pakan Ternak Departemen
Peternakan. FP - USU (2001)
3) Hasil analisis proksimat CV.
Chemix Pratama
4) Sutardi,
1981 & Hartadi et al., 1997
5) BETN = 100 - (PK+SK+LK+ABU)
6) Hasil Perhitungan sesuai
petunjuk perhitungan Hartadi (1990)
a) TDN = -26,685 + 1,334 (SK) +
6,589 (LK) + 1,423 (BETN) + 0,967 (PK) - 0,002 (SK)2 – 0,670 (LK)2
- 0,024 (SK) (BETN) - 0,055 (LK) (BETN) – 0,146 (LK) (PK) + 0,039 (LK)2
(PK)
b) TDN = -54,820 + 1,951 (SK) +
0,061 (LK) + 1,602 (BETN) + 1,324 (PK) - 0,027 (SK)2 + 0,032 (LK)2
– 0,021 (SK) (BETN) + 0,018 (LK) (BETN) + 0,035 (LK) (PK) - 0,0008 (LK)2
(PK)
c) TDN = 22,822 - 1,440 (SK) –2,875
(LK) + 0,655 (BETN) + 0,863 (PK) + 0,020 (SK)2 - 0,078 (LK)2
+ 0,018 (SK) (BETN) + 0,045 (LK) (BETN) – 0,085 (LK) (PK) + 0,020 (LK)2
(PK)
f.
Ransum perlakuan
Bahan
penyusun ransum diformulasikan ke dalam enam jenis perlakuan. Adapun
perlakuannya adalah sebagai berikut :
P0 = jerami padi 100%
P1= jerami padi 50% + konsentrat 49% + urea 1%
P2=jerami padi 49% + konsentrat
30% + PKM 21%
P3 =jerami padi 49% + dedak padi 30% + PKM 21%
P4 = jerami padi 49% + onggok 30% + PKM 21%
Kandungan
dan komposisi nutrien masing-masing perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan dan Komposisi
NutrienRansum Perlakuan (%BK)
BahanRansum
|
Ransum Perlakuan (%)
|
|||||
P0
|
P1
|
P2
|
P3
|
P4
|
||
Jerami padi
|
100
|
50
|
49
|
49
|
49
|
|
Konsentrat
|
0
|
49
|
30
|
0
|
0
|
|
Dedak padi
|
0
|
0
|
0
|
30
|
0
|
|
Onggok
|
0
|
0
|
0
|
0
|
30
|
|
PKM
|
0
|
0
|
21
|
21
|
21
|
|
Urea
|
0
|
1
|
0
|
0
|
0
|
|
Jumlah
|
100
|
100
|
100
|
100
|
100
|
|
Kandungan nutrien
|
||||||
SK
|
28,22
|
25,8
|
22,64
|
21,14
|
24,92
|
|
PK
|
3,94
|
8,04
|
6,09
|
8,63
|
9,04
|
|
LK
|
4,5
|
2,65
|
7,139
|
5,99
|
4,9
|
|
BETN
|
47,64
|
45,99
|
49,57
|
48,55
|
47,63
|
|
TDN
|
52,68
|
50,58
|
63,35
|
62,05
|
62,16
|
Sumber : Hasil perhitungan berdasarkan data
Tabel 2.
g.
Cairan Rumen
Cairan
rumen yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sapi berfistula
rumen sebanyak 3 ekor.
h.
Larutan Mc. Dougall (Saliva Buatan)
Komposisi saliva buatan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 4. Komposisi Larutan Mc.
Dougall
Bahan
|
Jumlah (gr)
dalam 2 liter air
|
Na HCO3
|
98,034
|
Na2HPO4.7H2O
|
46,256
|
KCL
|
5,706
|
NaCL
|
4,708
|
MgSO4.7H2O
|
1,214
|
CaCl2
|
0,405
|
Sumber : Soebarinoto et al., (1991)
2.
Alat In
Vitro
Alat yang
digunakan dalam teknik In Vitro
adalah tabung fermentor, waterbath, alat destilasi uap, alat titrasi,
spektrofotometer, pH meter dan tabung gas CO2.
C.
Pelaksanaan
Penelitian
1.
Tahap Persiapan
Tahap persiapan
meliputi pengumpulan sampel yang diperoleh dari desa Jagoan, kecamatan Sambi,
Boyolali dan
Banjarnegara
serta pengambilan cairan rumen dari sapi PO berfistula rumen sebanyak 3 ekor.
Sampel yang akan digunakan kemudian digiling dan di saring kemudian ditimbang.
2.
Tahap Pelaksanaan
a.
Pengukuran kecernaan
Kecernaan bahan kering dan bahan organik
diuji secara in vitro menggunakan
metode Tilley & Terry (1963). Metode in vitro dilakukan
dalam dua tahap, diawali dengan pencernaan fermentatif, yaitu dengan memasukkan
0,25 gram sampel ke dalam tabung fermentor. Kemudian ditambah 25mL larutan
McDougall (buffer) dan cairan rumen
yang sudah dicampur sebelumnya dengan suhu 39ºC, serta dialiri gas CO2 selama
30 detik. Setelah itu sampel diinkubasi selama 48 jam dalam keadaan anaerob.
Tahap kedua, bakteri dimatikan dengan penambahan asam hidroklorit (HCl) pada pH
2, lalu diberi larutan pepsin HCl dan diinkubasi selama 48 jam.
Tahap kedua ini
terjadi dalam organ pasca rumen (abomasum). Residu bahan yang tidak larut
disaring, kemudian dikeringkan dan dipanaskan hingga substrat tersebut dapat
digunakan untuk mengukur kecernaan bahan organik. Pembuatan blanko sama seperti
perlakuan in vitro, akan
tetapi tidak menggunakan sampel, hanya campuran antara cairan rumen dan larutan
Mc. Dougall saja yang di in vitro.
b.
Pengukuran fermentabilitas
Tahap awal pengukuran fermentabilitas
sama dengan tahap awal pengukuran kecernaan, namun sampel hanya diinkubasi
selama 4 jam. Kemudian sampel disaring dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit. Substrat tersebut akan membentuk endapan di
bagian bawah dan supernatan yang bening di bagian atas.
Pengukuran produksi VFA dilakukan dengan
cara 5 ml larutan supernatan dimasukkan tabung suling khusus kemudian secara
hati-hati ditambahkan 1ml H2SO4 15%. Sebelumnya tabung suling dimasukkan dalam
labu suling berisi aquades 600 ml yang telah dihubungkan
dengan pendingin Leibig dan dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung
dalam erlenmeyer yang telah berisi 5 ml NaOH 0,5 N. Proses destilasi dihentikan
ketika volume erlenmeyer telah mencapai 100 ml, selanjutnya diberi indikator
Phenolpthalin (PP) 2 tetes kemudian dititrasi dengan HCl 0,5% hingga terjadi
perubahan warna dari merah muda menjadi bening. Larutan blanko dibuat dengan
menggunakan 5 ml NaOH 0,5 N yang telah diberi indikator PP 2 tetes kemudian
dititrasi dengan HCl 0,5 N (Widodo et
al., 2012).
Analisa konsentrasi NH3 menggunakan
spektrofotometer. Penggunaan konsentrasi NH3 menganut metode Raneff dengan
menggunakan spektrofotometer. Langkah mengukur konsentrasi NH3 adalah sebagai
berikut :
1)
1 ml larutan A (Tungstat)
+ 2 ml cairan rumen dicampur + 1ml laruttan B dingin (simpan dalam almari es)
kemudian dicampur.
2)
Campuran langsung disimpan dalam freezer selama 48 jam. Sentrifuge sampel pada kecepatan 3000 rpm
selama 10 menit
3)
Pada tabung yang lain ditambahkan 20µl
supernatant campuran + 2,5 ml larutan C + 2,5 ml larutan D
campur secepatnya
4)
Inkubasi pada waterbath 40ºC selama 30 menit
sampai terbentuk warna biru dan dinginkan dalam suhu ruang. Setelah itu baca
dengan spektrofotometer pada λ 630 nm (Chaney dan Marbach, 1962).
Pengukuran pH dilakukan pada cairan rumen
yang sudah melalui uji kecernan tahap pertama, dengan menggunakan pH meter.
Kisaran pH rumen adalah 6,7-7,0 (Johnson, 1996).
3.
Peubah Penelitian
a.
Kecernaan bahan kering (KcBK)
Kecernaan
bahan kering ditentukan dengan metode Tilley da Terry (1963). Kecernaan bahan
kering dihitung dengan rumus :
KcBK = BK sampel – (BK residu – BK Blanko)
/ BK sampel x 100%
b.
Kecernaan bahan organik (KcBO)
Kecernaan
bahan organik ditentukan dengan metode Tilley da Terry (1963). Kecernaan bahan
organik dihitung dengan rumus :
KcBO = BO sampel – (BO residu – BO Blanko)
/ BO sampel x 100%
c.
Produksi VFA
Produksi
VFA total dihitung dengan rumus :
VFA total = (Y-Z)
x N HCl x 1000/5 mM
Keterangan :
Y: ml HCl yang dibutuhkan untuk
titrasi 5ml NaOH larutan blanko
Z : ml HCl yang dibutuhkan untuk
titrasi hasil destilasi.
d.
Konsentrasi NH3
Penentuan
NH3 dilakukan dengan spektrofotometer dan menggunakan metode Raneff (Chaney dan
Marbach, 1962).
e.
pH Rumen
pH rumen
diukur dengan menggunakan pH meter sebelum sampel disentrifus. Sebelum
digunakan pH meter dikalibrasi dengan menggunakan aquades, pH 4 atau pH 7.
D.
Analisis
Data
Data yang diperoleh
dalam penelitian dianalisis dengan analisis sidik ragam atau analysis of Variance (ANOVA) dan
rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan
percobaan ini terdiri dari enam perlakuan dan masing-masing diulang sebanyak
enam kali.
Model matematika yang
digunakan adalah :
Yij =µ + αi +
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada satuan perlakuan ke-i
ulangan ke-j
m = Nilai tengah perlakuan ke-i
αi =
Pengaruh perlakuan ke-i
=
Kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
(Gaspersz, 1991).
Apabila diperoleh hasil
data berbeda nyata dilanjutkan dengan uji beda antar mean yaitu Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)
(Steel and Torrie, 1995).
E.
Rencana
Kegiatan Penelitian
Tabel 5 . Rencana kegiatan penelitian
No.
|
Kegiataan
|
Bulan
|
|||||
Juli
|
Agust
|
Sept
|
Okto
|
Nov
|
Des
|
||
1
|
Pengajuan judul
|
||||||
2
|
Pengajuan proposal
|
||||||
3
|
Seminar proposal
|
||||||
4
|
Persiapan
penelitian
|
||||||
5
|
Penelitian
|
||||||
6
|
Pengumpulan data
|
||||||
7
|
Analisis data
|
||||||
8
|
Penulisan laporan
|
||||||
9
|
Seminar hasil
|
|
Anggorodi,
R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT
Gramedia, Jakarta.
Anshari, M.F. 2010. Pengaruh Pengukusan Onggok dan Suplementasi Methionine
Hidroxy Analog dalam Ransum Terhadap Performan Domba Lokal Jantan. Naskah
Publikasi. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Arora, S.P.
1995. Pencernaan Mikroba padaRuminansia. Cetakan ke dua. Gadjah Mada
UniversityPress. Yogyakarta. (Diterjemahkan olehR. Murwani).
Chaney,
A. L. dan E. P. Marbach, 1962. Modified Reagent for Determination of Urea and
Ammonia. Clinical Chemistry 8: 130-132
Djajanegara, A. 1999. Local Livestock Feed
Resource. In : Livestock Industries of Indonesia Prior to the Asia Financial
Crisis. RAP Publication 1999/37. Bangkok FAO Regional Office for Asian and the
Pacific. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gasperz,
V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. CV. Armico, Bandung.
Hardjosubroto,
W. dan M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta.
Hartadi,
H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hartadi.
H, Reksohadiprodjo S, Lebdosoekoyo, Tillman A. D, Kearl LC, Harris L. E. 1980.
Tabel-tabel Komposisi Bahan Makanan tenak untuk Indonesia. Logan Utah. Utah
University.
Hartati,
E. 1998. Suplementasi Minyak lemuru dan Seng ke Dalam Ransum yang Mengandung
Silase Pod Kakao dan Urea untuk Memacu Pertumbuhan Sapi Holstein Jantan. Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ismail, R. 2011.
Pengaruh Penggunaan Limbah Tape Singkong dalam Ransum Terhadap Konsentrasi NH3
dan Produksi Gas Total pada Cairan Rumen Domba (In Vitro). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. http://rismanismail2.wordpress.com/2011/06/03/fisiologi-pencernaan-ruminansia-part4/.
Diakses tanggal 18 Juli 2014.
Jhonson, R.
1966. Techniques and procedures for in vitro and in vivo rumen studies.
J.Animal Science. 25 : 825 – 875.
Jovitry,
I. 2011. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Daun Tanaman Indigofera sp. yang Mendapat Perlakuan
Pupuk Cair untuk daun. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kamal,
M. 1994. Nutrisi Ternak 1. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak Fakutas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lahay,
N. dan Rinduwati. 2007. Meningkatkan Nilai Nutrisi Feses Broiler dan Feses
Puyuh dengan Teknologi Efektivitas Mikroorganisme sebagai Bahan Pakan Broiler.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. hlm. 567-571.
Mahr-un-Nisa,
Sarwar, M., and Khan, M. A., 2004. Nutritive value of urea treated wheat straw
ensiled with or without corn steep liquor for lactating nili-ravi buffaloes.
Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17(6):825-829. Mariyono dan Romjali E., 2007. Petujuk
Teknis Teknologi Pakan Murah Untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan.
Maynard,
L. A., J. K. Lossley., H. F. Hintz and R. G. Warner. 1979. Animal Nutrition7th.
Mc Graw-Hill Book Company, New Delhi.
McDonald,
P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2010. Animal
Nutrition. Seventh Edition. Ashford Colour Press. Gosport.
McDonald,
P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal
Nutrition. 6th Ed. Longman, London.
Mulyawati,
Y. 2009. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Biomineral Dienkapsulasi.
Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Murni,
R., Suparjo, Akmal dan B. L. Ginting. 2008. Klasifikasi Limbah untuk Bahan
Pakan Ternak. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Laboratorium
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
Nugraha,
E. dan F. Wildan. 2001. Teknik Penyimpanan pada Rumen Terhadap Perubahan
Konsentrasi Asam Lemak Mudah Terbang (VFA. Temu Teknis Fungsional Peneliti.
Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Orden,
E. A., Yamaki, K., Ichinohe, T., and Fujihara, T., 2000. Feeding value of
ammoniated rice straw supplemented with rice bran in sheep: II. In Situ rumen
degradation of untreated and ammonia treated rice straw. Asian-Aus. J. Anim.
Sci. 13(7):906-912.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Makanan dan Ternak
Ruminant. UI Press, Jakarta.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta.
Shabi,
Z., Arieli, A., Bruckental, I., Aharoni, A., Zamwel, S., Bor, A., and Tagari,
H., 1998. Effect of the syncronization of the degradation of dietary crude
protein and organic matter and feeding frequency on ruminal fermentation and
flow of digesta in the abomasum of dairy cows. J. Dairy. Sci. 81:1991-2000. Soebarinoto,
S. Chuzaemi dan Mashudi. 1991. Ilmu Gizi Ruminansia. Animal Husbandry Project,
Universitas Brawijaya, Malang.
Soetanto,
H. 2007. Bahan Kuliah Nutrisi Ruminansia, Bab II Anatomi Saluran Pencernaan dan
Bab IV Mikrobiologi Rumen. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas brawijaya. Malang.
Srigandono,
B. 1996. Kamus Istilah Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Steel,
R. G. D dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan.
Sumantri B. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sugeng, Y. B. 2001. Sapi Potong. PT. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Supriyadi.
2013. Macam Bahan Pakan Sapi dan Kandungan Gizinya. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian DIY. Yogyakarta.
Sutardi,
T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas
peternakan Institut Pertanian, Bogor.
Suwandi.
1997. Peranan Mikroba Rumen pada ternak Ruminansia. Dalam : Lokakarya
Fungsional Non Peneliti. Bogor. hlm. 13-19.
Tilley,
J. M. A dan R. A. Terry. 1963. A Two Stage Technique For The In Vitro Digestion
of Forage Crops. Journal of British Grassland 18 : 104 – 111.
Tillman,
A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Tillman.
A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo.
1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Van
Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. 2th Ed
Comstock Publishing Associates Advision of Corhell University Press. Ithaca,
New York.
Widodo,
F. Wahyono dan Sutrisno. 2012. Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Bahan Organik,
Produksi VFA dan NH3 Pakan Komplit dengan Level Jerami Padi Berbeda Secara In
Vitro. Animal Agricultural Journal. 1 (1) : 215-230.
0 komentar: